Chapter 4
Di Atas Limau
Sebelumnya
Dengan
perlengkapan lengkap, senapan di depan dada dan perbekalan berada di punggung
serta mengenakan sepatu PDL semua pasukan bergegas memasuki daerah musuh untuk
menyelamatkan teman yang ditawan. Tak seorang pun yang tertinggal, semuanya
berlarian menuju markas musuh sesekali panglima menembakan peluru ke atas
sebagai peringatan terhadap musuh sekaligus pemberi semangat kami. Itulah
sekiranya gambaran yang sedang kami alami untuk menyelamatkan Muflihun.
Sesampainya di sana dari kejauhan tak terlihat gubug kami yang terbakar, yang
terlihat adalah sisa bongkahan kayu dan abu yang basah seakan sudah tersiram,
semakin mendekat kami melihat segerombolan orang seperti halnya perang Badar dengan
pasukan kami 300 orang melawan 1000 orang.
“Panglima
sepertinya mereka lebih banyak dari kita”
“bukan
sepertinya tapi memang kenyataanya, tenang Allah bersama kita”
Berjajar
merapatkan barisan kami berjalan perlahan, pasukan di sayap kanan dan kiri melirik-lirik
jika terdapat pengintai yang sedang memata-matai.
“rapatkan
barisan...! sersan hitung jumlah mereka, kita akan menyerang dari samping kiri”
“baik
Panglima...”
Bergegas
maju kami melangkah demi selangkah mendekati muflihun dan orang-orang ramai itu
di tempat kami tadi. Ternyata mereka sedang berbondong-bondong memadamkan api
yang membakar gubug yang kami buat sore tadi. Kami sungguh tak menyangka
muflihun yang tadi hilang atau tidak ikut bersama kami berlari memanggil warga
untuk membantu dirinya memadamkan api tersebut.
---
“met
koe ra wedi?”,tanya jungkir
“ora
no”
“padahal
kita hampir saja ketahuan”, tambah Heri
“untung
kemarin ada Muflihun, jajal kalo kemarin warga ga datang udah itu sawah 2
hektare habis deh”, sahutku
“gagal
panen donk?”
“iyalah,
jelas mati dewek pada”
Kami
berbincang-bincang soal kejadian kemarin malam. Jika saat itu kami tidak
bergegas lari dan si Muflihun tidak mencari warga untuk memadamkan api pasti
kami sudah habis-habisan dimarahin warga se-Desa.
“met
pa rencanamu berikutnya?”
“Heri
kamu punya tiang panjang di rumah kan?”
“yo
Met, opo?”
Iseng
punya iseng Komet merencanakan sesuatu yang tidak seorang pun tau, biasanya
ide-ide Komet adalah ide-ide konyol yang pastinya selalu membuat masalah. Namun
anehnya kami satu kelompok ini mau-maunya saja melakukan ide-ide buruknya itu.
“nanti
seperti biasa kita kumpul di rumah pak
Haji ya”
“pak
Haji maning? Apa yo kamu g bosen di domong terus sama pak Haji?”
“santelah
pak Hajikan bukan pak Lurah”
“memang
kalo pak Lurah kenapa?”
“gapapa
sama saja”
“toeng”
Komet
memang tidak pernah takut dengan apapun kcuali kepada Allah SWT, dia selalu
menganggap semua masalah adalah debu yang berterbangan, anggapnya bukan suatu
yang harus dipikir. Namun dari itu semua, menjadikan dirinya seorang yang
santai tak berdosa.
---
“hahah...”
“ituloh
yg makan nasi itu, hahaha...”
“iya...iya...hahaha...”
Dua
jam kami menunggu muflihun namun tidak datang-datang, tiga menit yang lalu pak
Haji datang mendekat seperti biasa mengahampiri kami dengan muka merah
marah-marah. Si Komet dengan gagahnya berkonsolidasi ke pak Haji melalui
kata-katanya yang maknyoss.
kritik dan saran