Chapter 1

Di Atas Limau
 by Choerin Amri

     Alkisah di sebuah Desa tepatnya di Desa Dukuhwaluh yang sebentar lagi mau jadi kelurahan tinggal sekelompok bolang=bocah ilang eh salah bocah petualang yang aku tergabung di dalamnya. Mereka semua masih berumur bawah (sekitar SD), setiap hari kita berkumpul dan bermain bersama.

“Dul besok sih PRnya pa?”,tanya Komet

      Sasongko Metalogi biasa dipanggil Komet adalah anak Kades setempat yang bernama Pak Diro yang tinggalnya dekat dengan istana Gola. Setiap berangkat sekolah Komet selalu bersama Abdulloh biasa dipanggil Sidul karena memang rumahnya bersebelahan dan mereka sama-sama satu lifting(maksudnya satu angkatan). Hari ini adalah hari senin dimana hari pertama masuk sekolah setelah liburan di hari minggu.

“Met hari gini taksih takon PR ya mana kutahu”, sahut Sidul

“piwe sih Dul emange kamu ga pernah belajar di rumah?”

“hoh aku belajar setiap hari koh”

“kalo belajar setiap hari masa PR hari ini ga tau?”

“justru itu Met karena belajarnya banyak dan setiap hari beda-beda jadi lupa PR yang diberi minggu lalu”

     Perjalanan dari rumah menuju Sekolah mereka tidaklah jauh, tidak seperti desa-desa yang dilihat di TV sampai nyebrang sungai Sekolah mereka sangatlah dekat hanya 100meter. Dekatnya sekolah bukan hanya karena Komet adalah anak Kades namun juga karena Bupati Banyumas sangatlah mementingkan pendidikan di setiap wilayah.
-----

     Perjalanan ke sekolah ditempuh dengan berjalan kaki, dengan beralaskan sandal jepit mereka melangkah demi tujuan memperbaiki bangsa yang hampir rusak moralnya. Walaupun jarak sekolah dekat namun mereka harus melewati Istana Gola sebuah nama kuburan yang sudah tak asing, jalan setapak yang melalui Istana Gola adalah jalan yang paling dekat menuju sekolah tetimbang melewati jalan Raya atau jalan setapak di Hutan.

      Saat perjalanan mereka bertemu teman mereka yang sedang ngarit di kuburan bersama seorang lelaki tua yang dipanggilnya sebagai ayahnya. Dia bernama Junkir bin Sartono, entah bagaimana cerita bahwa nama ayahnya adalah Samiaji bukan Sartono mungkin karena ketidak tahuan ayahnya tentang makna “bin” yang bermakna anak dari.

“Junkir kamu ora sekolah?”, sahut Komet

“diihh... rajin ya kuburan dibersih”, Sidul menambah

“emange WC dibersih lagi ngarit nggo golet duit”, sahut Junkir

“Ntung ngger wis rampung ngobrol, dilanjut ya”, sahut ayah Junkir memotong

     Dukuhwaluh memang sebuah desa namun hanya beberapa keluarga yang tidak mampu, Junkir termasuk keluarga miskin yang tinggal di Desa. Keluarga yang tidak mampu ini bukanlah orang yang memang malas atau tidak berpendidikan, namun sebagiannya miskin karena miskin warisan ini disebabkan banyak faktor ada yang nenek moyangnya meninggalkan hutang sampai-sampai kerja apapun hutang tidak bisa terlunasi sehingga hampir ¾ pengahasilannya hanya untuk bayar hutang dan selebihnya untuk keseharian. Bukannya bukan apa, bahkan dari kebanyakan warga yang tidak mampu memiliki silsilah bangsawan dan keturunan keluarga raja-raja, karena mungkin nenek moyangnya biasa hidup mewah sehingga di zaman penjajahan mereka menghabiskan uang sampai hutang berlipat ganda.

    Ayahnya tidak pernah memanggil Junkir sesuai namanya dia lebih senang memanggilnya Ntung jika dibahasa Indonesiakan Ntung adalah salah satu fase dari metamorfosis yaitu saat ulat menguel pada daun pisang yang nantinya jadi kupu-kupu. Sejak Ibunya meninggal memang ayahnya terlihat sangat keras terhadap Junkir sampai-sampai terkadang dia tidak boleh sekolah. Ibunya sudah meninggal 2 tahun lalu, cerita punya cerita istri dari ayah Junkir adalah istri satu-satunya dan paling disayang oleh ayah Junkir kemana selalu dibawa. Ayah Junkir adalah seorang bisnisman penghasilannya melimpah namun itu ¾ lebih gajihnya dibayarkan ke penagih hutang. Jangan pernah mengira bahwa orang penagih hutang disini adalah renternir atau satu orang namun penagih hutang disini ada banyak dan kebanyakan dari mereka adalah bankir dan tukang kridit yang sudah berdiri sejak zaman Landa begitulah orang menyebutnya.
---

     Ciki adalah panggilanku nama lengkapku adalah Fajri A’la Laili orang tuaku memberiku itu karena aku lahir pukul 06.00 dan ingin hidupku tidak gelap seperti malam. Entah mengapa teman-temanku memanggilku Ciki, setauku Ciki itu nama wanita padahal aku laki-laki mungkin karena kebiasaanku dahulu yang suka makan snak Ciki.

“Met kamu udah ngerjain PR belum Met”, sahutku

“ya belim eh belumlah Cik”, jawab Komet

“hoah anu Komet ditanya, kerjaannya kan cuman muter-muter orbit elips pikirannya itu butuh 75 tahun”, Medi nyambung

    Orang tua Medi seorang PKL yang mangkal UMP, hampir setiap hari sepulang sekolah dia bantu berjualan. Omongannya terhadap teman-temannya sering kasar maklum anak pasar gaulnya ya sama preman-preman.

“emange Gue komet Halley 75 tahun sekale”, bantah Komet

“oh the jarkune”

“Heh bu Guru...bu Guru...bu Guru...”

      Sudah jadi kebiasaan yang membudaya turun temurun dari angkatan sebelumnya jika guru datang secara langsung ada murid yang berteriak agar murid yang lain bersiap dan duduk rapi.
Bu Li panggilannya nama panjangnya Liangca Muslimah dia masih keturunan Tionghoa namun sudah bercampur dengan Jawa. Orang tuanya adalah mualaf sehingga saat dilahirkan Bu Li sudah beragama Islam.

“Assalamualaikum warohmatullohiwabarokatuh”

“Waaa’aaalaaaiikuuumuuusaalaaam waaaroohmatullooohiwaabarokatuuh”, sahud murid-murid

“haoyo yang belum ngerjain PR sapa hayo....”

Secara serentak murid-murid berkata,”Heri Buuuuu”.

    Heri bernama lengkap Heri Purnama dimalam hari kalau malam dst pokoke, di kelas dia terkenal ketidak bisaannya dia selalu mendapat ranking terakhir. Hampir setiap hari Ibu Li selalu mengajarinya dengan keras, namun walau begitu Heri sadar akan dirinya dia selalu bertanya saat pelajaran, kisah punya kisah di cerita yang akan datang Heri akan menjadi anak yang paling pandai dan selalu peringkat satu.

“anak-anak....”

“ehm tes...tes..., Assalamualaikum warohmatullohiwabarokatuh, Inalillahi wa ina ilahi roji’un 3x”
---


kritik dan saran

Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

ke atas